Posts Tagged ‘gunung’

—Ringkasan Part-3—

Satu tokoh di dukuh Wanakajir yang melegenda adalah Badiyah, orang yang dikenal karena memiliki ketrampilan bela-diri, kebal, dan kharisma yang luar biasa.  Dengan memiliki sabuk mayat, Badiyah memulai petualangan baru yang mengantarkannya malang-melintang pada kehidupan dunia hitam.  Ketenarannya membuat dukuh Wanakajir selalu aman dari ancaman kriminal para pencoleng dan garong.  Karena ketenarannya pula, dukuh Wanakajir dan penduduknya selamat dari carut-marut penyembelihan manusia sepanjang dekade 1950-an dan 1960-an.

/8/

“Tak ada yang tahu, kalau saya tak lagi memiliki kekebalan sejak malam itu,” Badiyah menerawang ketika bercerita tentang luruhnya seluruh kekebalan yang dimiliki.

Pada waktu bertapa untuk menerima cincin yang membuat dirinya kebal, ia diberi amanat oleh leluhur,  “Janganlah kau memakan ‘daging mentah’.  Inilah satu-satunya pantangan untukmu.”  Ia mahfum atas larangan itu.  Semua orang yang gentur tapa dan hidup di Cirebon, dapat dengan mudah memaknainya, yakni larangan untuk tidak menyeleweng, berzinah.  Itulah makna ‘daging mentah’ dalam amanat itu.

Untuk masa yang lama ia tidak pernah tergoda.  Tetapi pada akhir tahun-tahun 1960-an, pesona seorang istri dari desa Guwa mampu meruntuhkan iman seorang Badiyah.  Suatu malam ia menyelinap masuk ke rumah seorang pamong desa Guwa, dan dengan tenang, selayaknya di rumah sendiri, ia masuk ke kamar istri pamong desa itu.  Ia menidurinya, manakala sang suami tak ada di rumah.

“Ke mana suamimu?”

“Paling-paling juga ke rumah janda muda di desa Slendra.”

“Ya.  Semua perilaku pamong desa itu bejat-bejat.  Alih-alih menjadi pamong bagi warganya, ia seringkali malah melemparkan janda-janda ke pelukan teman sesama pamong desa.”

“Itu urusan lelaki.  Yang pasti malam ini saya tidak sedih ditinggal selingkuh oleh suami.”

Esoknya, suara teriakan orang-orang di luar kamar mengagetkan Badiyah.  Pintu kamar digedor keras, dan ia kaget.  Dengan penuh kejantanan, masih memperlihatkan dadanya yang telanjang bidang, ia siap menghadapi semua orang.  Palang pintu dibuka, dan semua yang menunggu terhipnotis oleh kehadirannya.

Semua yang menunggu kemudian keluar, meninggalkan rumah itu satu per satu.  Sunyi-senyap menyelimuti desa Guwa, tak ada isyu tak ada rasan-rasan.  Suara kereta api yang melintas di sisi selatan desa itu pun hilang terbawa angin kencang.  Sementara, di sebelah selatannya lagi, pucuk-pucuk dander yang mulai menghijau dan ramai dihinggapi burung-burung manyar yang melakukan migrasi dan membuat sarang, hanya melambai-lambai.

“Siapa yang memanggil semua orang itu masuk ke dalam rumahmu?!” bentak Badiyah.

“Tidak tahu.  Ampun, Pak.  Tidak tahu.  Demi Tuhan.” Perempuan itu menangis sesenggukan.  Malu dan takut bercampur menjadi satu.  Malu pada masyarakat, dan takut pada lelaki yang kini ada di hadapannya, sang jagoan yang malang-melintang dalam dunia hitam.

“Jangan bawa-bawa nama Tuhan ke sini.  Tak pantas.”

Keheningan kemudian hadir.  Lama.  Sampai kemudian Badiyah memecahkannya dengan suara tertekan dan dalam.  “Mana cincinku?”

“Ampun.  Tidak tahu, Pak.  Saya tidak mengambilnya.” Katanya pasrah.

“Mana?!!” suaranya meninggi, dan dengan kecepatan yang menyusulnya, hampir beriringan dengan suara tamparan tangan lelaki perkasa itu jatuh di pipi lembut perempuan.

“Ampuuuunn.” Ia menjerit seraya menutup mukanya dengan kedua tangan.  Membenamkan diri pada kasur yang kapuknya mulai cekung karena ditiduri semalaman.  Ia sudah pasrah.  Bahkan seandainya kematian sekalipun.  Siapa yang berani menghadapi sang jagoan.  Jangankan perempuan, lelaki seantero Dermayu pun mungkin akan takluk di bawah telapak kakinya.

Kedua orang tuanya diam.  Tak berani menghadapi.  Tak berani menyelamatkan anak perempuannya dari apapun yang mungkin akan terjadi.

Tetapi lengkingan ampunan perempuan itu segera menyadarkan Badiyah.  Perempuan itu tidak bersalah.  Bahkan pasti ia tidak mengambil cincin saktinya.  Yang salah adalah dirinya, melanggar amanat leluhur yang menitipkan cincin kekebalan kepadanya.  Pasti ia yang mengambilnya kembali.

Segera ia bergegas meninggalkan desa itu.  Dengan jalan memotong jalur Pilang Kandang, Badiyah memasuki dukuh Wanakajir dari arah utara.  Sepanjang jalan ia tak habis mengerti mengapa sampai bisa melanggar amanat leluhur yang membuat seluruh kesaktiannya kini luntur.  Buat seorang lelaki dengan ilmu kekebalan seperti Badiyah, tak ada larangan untuk menggauli perempuan yang disukainya.  Begitu tertarik pada seorang perempuan, tinggal minta pada orang tuanya secara baik-baik, menikahinya secara siri, dan kemudian menggaulinya.  Kapanpun.  Setelah bosan, ia bisa dengan bebas meninggalkannya.  Tak bakal ada yang berani untuk menggugatnya.  Kepala desa sekalipun.

“Ya, begitulah.  Tak ada yang tahu, kalau saya tak lagi memiliki kekebalan sejak malam itu.”

/9/

Memasuki dekade 1970-an dunia Jawa punya kisah sendiri.  Pemilu 1971 meninggalkan luka, khususnya bagi banyak simpatisan dan warga Nadliyin. Aparat desa, aparat kepolisian sektor dan aparat koramil, merupakan perpanjangan tangan dari Golkar dan mereka banyak mengintimidasi rakyat jelata.  Kiai Zuhdi, seorang ulama desa yang kharismatik, ditekan untuk tidak mempromosikan dan memilih NU dalam Pemilu.  Tekanan ini membuat keluarga dan seluruh kerabat kiai ketakutan.  Konon, anak lelakinya yang paling kecil, Farikin, dilempar ke balong oleh oknum-oknum perpanjangan Golkar, untuk membuktikan bahwa tekanan itu tidak main-main.

Tetapi dukuh Wanakajir menyimpan cerita lain.  Dukuh Wanakajir tidak dipetakan sebagai kampung hijau yang harus diwaspadai.  Lebih dari itu, hitam-putihnya dukuh Wanakajir hanya tergantung dari sikap seorang Badiyah saja.  Golkar menang mutlak di TPS-TPS yang ada di dukuh itu, dan entah berhubungan entah tidak dengan kemenangan Golkar, Badiyah diangkat menjadi seorang bekel, kepala dukuh atas dukuh Wanakajir.

Kehidupan memang seperti putaran roda pedati, bergulir perlahan memindahkan peran-peran manusia.  Badiyah yang dulu malang-melintang di dunia hitam, kini menjadi kepala dukuh, memimpin beberapa ratus warga penghuni dukuh Wanakajir.  Menjadi pamong dalam arti yang sesungguhnya.  Menjadi benteng yang harus pasang badan apabila terjadi apa-apa terhadap warganya.

Dukuh Wanakajir juga mengalami perubahan.  Awal tahun 1970-an Pemerintah membuat proyek jalan bypass antara Kalentanjung sampai Bunder, memperpendek jarak tempuh dibandingkan dengan harus mengambil rute Kalentanjung, Wanakajir, Lempong, Jatianom, Jatipura dan Bunder.  Proyek pembangunan jalan bypass ini segera membuat dukuh Wanakajir menjadi mati, kehilangan fungsinya sebagai urat nadi.  Jam tiga dini hari, yang biasanya sudah ramai oleh para gerabad yang singgah untuk sarapan pagi di dukuh itu, lama kelamaan tidak lagi.  Apalagi, setelah jalan raya berfungsi, mobil dan motor semakin tahun semakin banyak jumlahnya, tetapi tidak melintasi rute lama ke dukuh Wanakajir ini.

Perjalanan waktu memang mengubah segalanya.  Tapi bagi seorang Badiyah, berjalannya waktu ini melahirkan kecemasan dan kesepian.  Kedua kakak dan ketiga adik-adiknya sudah dikaruniai keturunan, anak dan bahkan cucu, sementara ia belum.  Padahal, usianya terus bertambah tua, dan dari istrinya ia belum memperoleh keturunan.  Kesepian tanpa batas ini membuat Badiyah nelangsa.

Badiyah kemudian menikahi Romlah, anak gadis Sartawi, salah seorang yang cukup terpandang di dukuh itu.  Dari perkawinan ini kemudian lahir beberapa anak.  Dan yang luar biasa, persis seperti cinta segitiga Sarah-Ibrahim-Hajar, kisah cinta segitiga Sutini-Badiyah-Romlah juga memiliki kesamaannya.  Menyusul Romlah mengandung anak-anak Badiyah, dari Sutini, meski sudah tidak dapat dibilang muda lagi usianya, lahir seorang putri, meneruskan trah Badiyah sang jagoan.

/10/

Hari-hari tuanya diisi dengan mendekatkan diri ke masjid.  Setelah keluar dari posisi komandan satpam pada satu unit Depot Logistik milik pemerintah, ia sepenuhnya menjadi orang rumahan.  Kedua istrinya membuka warung.  Sutini membuka warung makan di dekat Depot Logistik tempat Badiyah dulu bekerja, sementara Romlah membuka warung kelontong di rumahnya.

Badiyah tua kerap tergetar begitu suara adzan terdengar.  Ia ingin menebus masa lalunya yang kelam dengan sepenuhnya mendekatkan diri pada Tuhan.  Sampai Tuhan benar-benar memanggilnya, bukan lewat sang muadzin, tetapi lewat malaikatul maut.

Ia dikebumikan di pekuburan umum, di bawah pohon dander yang kokoh menjulang.

(habis)***

—Ringkasan Part-1—

Satu tokoh di dukuh Wanakajir yang melegenda adalah Badiyah, orang yang dikenal karena memiliki ketrampilan bela-diri, kebal, dan kharisma yang luar biasa.  Masa remajanya dia lewati dengan bergabung dengan kelasykaran, membela Republik yang baru lahir ini.  Kahidupan mudanya ini membuat dia disegani baik oleh kalangan pemerintahan, kepolisian, militer, dan maupun oleh para pencoleng dan para jawara.

/3/

Hal yang menyedihkan bagi para anggota kelasykaran adalah kebijakan Pemerintah.  Pemerintah selalu saja tidak mengerti hati rakyatnya, baik itu raja maupun presiden.  Baik kaisar mapun perdana menteri.  Dan puluhan ribu rakyat yang tergabung dalam kelasykaran dikecewakan oleh kebijakan Perdana Menteri Hatta.  Sang Perdana Menteri mengeluarkan kebijakan rasionalisasi, dengan menyingkirkan rakyat yang tidak punya ijazah untuk tetap bergabung dalam kelasykaran.

Ini kebijakan yang melukai dan menyakitkan hati rakyat.  “Kami sama-sama berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.  Tapi, hanya karena kami tak memiliki ijazah, kami disingkirkan, kami dinistakan, dan kami dilarang bergabung dengan tentara untuk berkarier dalam kemiliteran.  Kebijakan macam apa Pemerintah ini?  Apa mereka mengira cecunguk-cecunguk lulusan sekolah itu bisa memegang senjata? Tidak!” Badiyah memprotes keras.

Begitulah sepanjang tahun 1948-1949 banyak rakyat jelata dan santri meninggalkan kelasykaran dan kembali menjadi petani atau kembali ke pesantren hidup mengaji.  Begitulah peran sejarah rakyat jelata dan para santri ditutup dengan kebijakan Pemerintah, dihapus dari kitab-kitab sejarah.  Sejarah kemudian memihak militer, mencatat dengan tinta emas bahwa pertahanan negeri ini pada masa Perang Kemerdekaan adalah monopoli para tentara.

“Kami kecewa, dan itulah yang mendorong keamanan negeri ini makin buruk.  Di sana-sini banyak muncul Barisan Sakit Hati, kelompok yang kecewa karena kebijakan militer Hatta.  Kelompok-kelompok ini merupakan kelompok-kelompok kecil, tersebar di mana-mana.  Hidup merampok dan menjarah.  Sebuah kehidupan baru yang dimulai dari rasa kecewa. Inilah titik balik sebuah cerita.”

“Untuk masa yang lama kami eksis sebagai kelompok Barisan Sakit Hati.  Bertemu dengan TNI kami harus baku tembak, bertemu dengan DI kami harus berantem, dan ketemu sesama BSH kami harus adu kesaktian dulu.  Untuk mempersenjatai diri, kami harus merampas senjata dari polsek atau koramil.  Beberapa yang kami rampas kami simpan dulu di sumur-sumur.  Kelak begitu senjata dibutuhkan, baru kami mengambilnya.  Sumur adalah gudang senjata kami.

Sementara untuk bertahan hidup kami terpaksa menggarong, merampok dan menjarah.  Begitu juga dengan kelompok BSH lain.

Bahkan buat para kepala desa dan orang-orang kaya, pada sepanjang masa Perang Kemerdekaan dan tahun-tahun sesudahnya, mereka tak dapat membedakan mana TNI, mana DI dan mana BSH.  Semuanya sama: Perampok!  TNI datang ke suatu desa, menemui kepala desa dan orang-orang kaya, minta makan dan kemudian membawa sejumlah logistik.  Malamnya DI datang juga sama, meminta makan dan kemudian membawa sejumlah logistik untuk perbekalannya.  Pada kali yang lain, kami datang.  Kami juga sama, sama seperti mereka, menjarah apa yang mereka miliki.  Tapi sejarah tidak jujur mencatat tragedi ini.

Untuk membuat kelompok kami ditakuti, kami harus melengkapi dengan kedigjayaan diri.” Kenang Badiyah pada suatu senja.

/4/

Badiyah memang dikenal sebagai salah satu orang yang digjaya.  Separuh wilayah Cerbon dan seluruh wilayah Dermayu pernah mendengar kabar kedigjayaannya.  Tubuhnya kebal dari senjata tajam dan peluru.  Perutnya mampu bertahan lama menerima berbotol-botol arak dan tuak apapun.

Perkara kharisma yang dimilikinya, bermula dari kepercayaan umum bahwa barangsiapa yang berhasil mengambil ikat pinggang mayat, dari mayat yang meninggal pada malam Selasa Kliwon, maka baginya akan tumbuh keberanian yang luar biasa dan ditakuti oleh siapapun.  Kepercayaan ini mendorong jiwa Badiyah remaja untuk memiliki dan memanfaatkan kedigjayaan ini untuk kehidupan yang lebih baik.

Maka dilewatilah laku tapa.  Mutih, yakni hanya makan nasi putih tanpa lauk, sekalipun sekedar garam, merupakan perilaku umum bagi siapapun yang ingin mendapatkan kedigjayaan.  Mutih, bukan hanya dilewati dengan makan hanya sekali setiap harinya, tetapi juga dilakukan selama empat puluh hari berturut-turut.  Selama masa ini, aktivitas sehari-hari tetap dilakukan.  Bekerja mencangkul di sawah atau di ladang, tetap dikerjakan dan tidak boleh diabaikan.  Perilaku ini dapat membuat daya tahan fisik manusia menjadi kuat, sekalipun cukup dengan asupan makanan sekedarnya.

Mutih yang utama bukan hanya pada tingkatan hanya sekali makan dalam sehari dan dilakukan selama empat puluh hari, tetapi juga dilakukan dengan cara hanya sekali tidur.  Perilaku ini yang lebih berat dibanding sekedar makan nasi putih.  Dalam siklus sehari-semalam, seseorang hanya dibolehkan sekali tidur.  Sekali terjaga, ia tidak boleh lagi tidur, betatapun ngantuk masih menggelayuti pelopak mata.

“Perilaku inilah yang terberat.  Tapi, ketahuilah, manusia itu makhluk yang paling mudah beradaptasi.  Yang terberat hanyalah pada awal-awal penyesuaian.  Setelah melewati masa seminggu, semua menjadi biasa.  Tidur setengah jam dalam semalam itu akan menjadi hal biasa.  Para jagoan dari zaman dahulu kerap melakukan tradisi ini, sehingga dalam kondisi terjepit, seperti ketika dalam pengejaran musuh, ia mampu hanya beristirahat lima sampai lima belas menit dalam sehari,” begitu Badiyah suatu kali bercerita.

Mengakhiri perilaku tapa mutih adalah aktivitas yang disebut dengan matigeni.  Matigeni berarti mematikan api, yakni seseorang harus melewati suasana tanpa penerangan karena penerangan bersumber dari api, tanpa makanan karena makanan dioleh dengan api, dan tanpa minuman karena minuman yang baik harus dimasak dengan api.  Matigeni bermakna membunuh semua perilaku buruk yang ada dalam diri manusia, yang dimanifestasikan dalam bentuk sehari semalam hidup sendiri tidak makan, tidak minum, tidak tidur.  Pada suasana seperti ini, pikiran dipusatkan pada keheningan, untuk mendapat kemukjizatan hidup.

“Jika aku mendapatkan cincin itu hasil bertapa di kuburan leluhur di dukuh ini, tidak demikian dengan sabuk mayat yang kumiliki.  Aku melewati hari-hari terakhir matigeni itu di daerah Eretan, di wilayah Dermayu.  Sesudah itu aku terus berpuasa, menunggu siapa yang meninggal pada malam Selasa Kliwon,” kenang Badiyah.

Pucuk dicinta ulam tiba, begitu peribahasa lama.  Peribahasa itu kini sudah berganti, mendamba lalapan datang ayam panggang. Maknanya sama, yakni berharap dalam penantian dan mendapat lebih dari sekedar harapan.  Di daerah Eretan ada beberapa orang yang meninggal pada malam Selasa Kliwon.  “Tapi mungkin juga banyak orang-orang yang menanti, sehingga bisa jadi kita harus bergulat dulu dengan orang-orang yang juga mencari sabuk mayat.  Ini hal yang biasa.”

Bukan cuma itu.  Setiap orang yang meninggal pada malam Selasa Kliwon, kuburannya setiap malam akan diterangi dengan petromaks dan dijaga sampai empat puluh malam.  Lewat dari empat puluh malam, sudah pasti aman, tak bakal ada yang menjarah kuburan untuk mendapatkan sabuknya.  Maka, selain menghadapi orang-orang yang juga mengharapkan sabuk mayat, juga harus siap menghadapi para penunggu kuburan yang menjaga pada sepanjang hari dan sepanjang malam.  Bila ketahuan, yang dihadapi bukan hanya para penjaga, tapi seluruh penduduk kampong.  Tapi ini resiko sebuah perjuangan.  Tak ada perjuangan yang tak membutuhkan resiko.

Kami memilih daerah Eretan karena suatu sebab.  Desa ini berada di tepi pantai.  Penduduknya bekerja sebagai nelayan, yang melaut ketika senja hari tiba.  Bukan cuma itu, Eretan adalah kawasan yang terpencil, antara Patrol dan Parean di timur baratnya.  Sementara desa-desa di sebelah selatan Eretan, terpisah jauh lewat dari jangkauan mata dan suara.  Di sebelah utara adalah laut Jawa, yang deburan ombaknya akan mengalahkan siapapun yang berteriak.  Pada malam hari sekalipun.

Yang lebih penting dari semuanya adalah kemudahan menggali.  Mayat tidak dikubur dalam-dalam dan tanahnya berair sepanjang tahun.  Daerah tepian laut memungkinkan tanah-tanah kuburan di sini mudah dimasuki air laut.  Menggali kembali kuburan dalam kondisi ini akan memudahkan.

Tepat pada saat orang-orang lalai, memperkirakan bahwa kuburan tak akan ada yang menjarah, pada malam keempat puluh kami beraksi.  Menjarah kuburan demi mendapatkan sabuk mayat untuk mendapatkan kharisma dan mempertebal kekebalan.

Rupanya pilihan daerah ini untuk memudahkan pekerjaan terbukti meleset.  Dengan dibantu oleh seorang teman, kami menggali kuburan sasaran dengan cangkul.  Tanahnya begitu liat, seperti mencangkul tanah merah yang keras tetapi dengan kelembaban air yang cukup.  Begitu sampai pada bagian lahat, kami sudah kehabisan tenaga.  Kami lunglai.  Dan yang luar biasa adalah mayat itu hidup.  Ia marah karena kami menggali kuburnya.  Ia menampar dan menginjak-injak saya.  Saya terpaksa harus menghadapi mayat yang marah. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, sebisa-bisanya saya kalahkan mayat itu.  Saya berhasil menelikung dan membantingnya.  Ia terjatuh, mengerang dan kemudian mati.  Mayat itu mati!  Kini mayat kembali menjadi mayat.

Sabuk ikat pinggang mayat tak boleh diambil dengan tangan, ini pantangan untuk mendapatkan kedigjayaan.  Seseorang yang ingin digjaya harus mengambil sabuk itu dengan gigi.

(bersambung)***