Posts Tagged ‘Geyongan’

—Ringkasan Part-2—

Satu tokoh di dukuh Wanakajir yang melegenda adalah Badiyah, orang yang dikenal karena memiliki ketrampilan bela-diri, kebal, dan kharisma yang luar biasa.  Kekecewaannya terhadap kebijakan rasionalisasi yang dikeluarkan oleh Perdana Menteri Hatta, merupakan titik balik kehidupan tokoh ini.  Ia mulai menjalani kehidupan sebagai seorang garong.

Untuk menambah kedigjayaannya, Badiyah melakukan ritus mengambilan sabuk mayat dari mayat yang meninggal pada malam Selasa Kliwon.

/5/

Sabuk ikat pinggang mayat memang tak boleh diambil dengan tangan, ini pantangan untuk mendapatkan kedigjayaan.  Seseorang yang ingin digjaya harus mengambil sabuk itu dengan gigi.  Begitu gigi menggigit satu ujung sabuk dari kain mori itu, aroma tak sedap merasuki seluruh kepala.  Ia ingin muntah.  Bau bacin mayat yang berumur 40 hari menusuk-nusuk hidung hingga ke kepala dan perut.  Ia tetap bertahan, menggigit satu ujung kain mori kemudian menariknya hingga terlepas dari pinggang mayat.

Begitu berhasil mendapat ikat pinggang, Badiyah kabur.  Malang baginya, ia menabrak dinding kuburan dan akibatnya terjatuh di atas mayat.  Kembali aroma bau bacin menyeruak.  Ia baru sadar bahwa aksi melawan mayat itu tidak terjadi di tanah yang lapang, tetapi di dalam kuburan yang malam itu dia gali.  Dengan tenaga baru yang ia miliki karena keberhasilannya, segera ia melompat dari lubang kuburan.  Ia meninggalkan mayat begitu saja, yang membuat geger seluruh penjuru Eretan pada keesokan harinya.

Keberhasilan mendapat sabuk ini belum berakhir setelah berhasil meninggalkan mayat.  Ia terus diikuti oleh ruh yang meminta terus-menerus kain sabuknya.  Tiap malam ruh dari mayat itu meminta kembali kain sabuknya.  Tapi hal ini tidak menakutkan buat seorang Badiyah.  Jangankan sekedar ruh, setan saja tidak dapat berbuat apa-apa atas manusia.  Kuncinya cuma satu: biarkan saja!  Dengan mengabaikan kehadiran ruh atau setan, manusia akan berhasil menaklukkan ruh jahat sekalipun.

Dengan sabuk mayat ini, Badiyah dapat menyirep orang-orang seisi rumah, dan dengan demikian ia dapat masuk ke rumah itu tanpa ada masalah.  Mengambil apapun yang dibutuhkan dari rumah yang disatroninya, bukan masalah bagi seorang Badiyah.  Inilah petualangan baru yang mengantarkannya malang-melintang pada kehidupan dunia hitam.

Dengan memiliki seorang Badiyah, dukuh Wanakajir menjadi aman.  Tak ada maling tak ada perampok yang mengganggu dukuh ini.  Jangankan rumah terkunci, kerbau yang bebas dalam kandang tak terkunci saja tak akan ada yang berani menjarahnya.  Kalaupun sekali waktu ada maling bodoh mencuri di dukuh ini, akan dengan mudah dideteksi.  Dengan melihat arah jejak kaki dari mana dan ke mana, dapat diduga dengan mudah maling bodoh itu dari daerah mana.  Sementara dengan caranya jendela atau pintu dicongkel oleh maling, dapat diduga dengan mudah maling bodoh tersebut merupakan anggota kelompok mana.  Hanya dengan mengidentifikasi tempat kejadian perkara ini saja, dalam satu dua hari barang curian bisa kembali ke dukuh Wanakajir.  Tak perlu mengambil sidik jari, tak perlu mendeteksi DNA.

/6/

Tapi hidup sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an merupakan kehidupan yang sungguh-sungguh sulit.  Panen padi yang datangnya hanya setahun sekali, bukan jaminan tersedianya stok logistik bagi seluruh warga desa.  Apalagi pada sepanjang dekade 1960-an, peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober, yakni G30S/PKI 1965) berdampak pada kesulitan mendapatkan beras dan melonjaknya harga pangan. Memang sepanjang dekade-dekade itu lebih baik dibanding pada waktu zaman Nippon, tetapi kemelaratan merupakan lukisan umum masyarakat di negeri ini.

Meski dukuh Wanakajir tidak memiliki pahlawan-pahlawan seperti dukuh Sindang dan Karangampel ketika terpaksa berhadapan dengan Dai Nippon, tetapi sungguh beruntung bahwa dukuh Wanakajir memiliki seorang pahlawan yang bernama Badiyah.  Pada setiap masa paceklik berkepanjangan melanda dukuh Wanakajir, Badiyah kerap memberikan hasil rampokannya untuk warga dukuh yang membutuhkan.  Apalagi hampir seluruh warga dukuh merupakan kerabatnya, yang dihubungkan karena pertalian darah maupun karena perkawinan.

Ketika distribusi air irigasi menimbulkan konflik, seorang Badiyah biasanya turun tangan.  Kalaupun tidak, nama besar Badiyah dapat menggeser prioritas distribusi air irigasi.  Dari kawasan Rentang, pusat distribusi irigasi Cimanuk, hingga kawasan Kapetakan di wilayah muara, sering berhutang jasa pada Badiyah.  Bahkan nama Badiyah sering dimanfaatkan untuk memanipulasi distribusi air irigasi Kali Cimanuk.

Namanya merupakan garansi keamanan.  Setidaknya demikianlah yang dialami oleh seluruh warga dukuh Wanakajir.  Begitu amannya lingkungan dukuh ini, hingga pada musim panen banyak warga pendatang dari berbagai penjuru datang ke dukuh ini.  Dari desa-desa terdekat biasanya hanya ngelajo, pulang pergi saja ke dukuh Wanakajir.  Sementara dari desa-desa yang cukup jauh, biasanya para pendatang tidak hanya sekedar ngelajo, tetapi juga ngurung.  Ngurung adalah istilah kaum agraris di Jawa yang berlawanan dengan nglajo.  Jika pada tradisi ngelajo seorang buruh tani akan pergi dan pulang ke/dari tempat kerja dalam hitungan satu hari, maka pada tradisi ngurung tidak.  Pada tradisi ngurung, seorang buruh tani akan menginap pada kerabat, teman sesama buruh atau bahkan pada majikan, selama musim panen.

Ketika daerah-daerah lain mengalami musim panen, penduduk dukuh Wanakajir juga banyak yang ngelajo atau ngurung ke daerah-daerah lain.  Dukuh Rancajawat, Wanguk, Parean, Pusakanegara, Pusakaratu, Pamanukan, Cilamaya, adalah sebagian dari nama-nama dukuh yang penduduknya sering datang ke Wanakajir dan sering didatangi oleh penduduk Wanakajir.  Nama-nama itu pada dewasa ini adalah nama-nama daerah di perbatasan kabupaten Majalengka, Indramayu, Subang dan bahkan Karawang.  Meskipun nama-nama daerah itu ada di wilayah yang mayoritas penduduknya berbahasa Sunda, tetapi nama-nama itu adalah nama-nama dukuh yang merupakan pendukung bahasa Jawa pesisiran.

/7/

Sejauh mana hubungan Tokoh kita ini dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), tidak dapat ditentukan.  Beberapa koleganya yang berasal dari dukuh Geyongan Ciwaringin, merupakan anggota atau simpatisan PKI.  Jangan tanya teman-teman Badiyah yang berasal dari wilayah Indramayu.  Wilayah Indramayu sejak awal kemerdekaan hingga tahun-tahun 1960-an merupakan pendukung kuat PKI.  Mr. Mohammad Yusuf, ketua partai berlambang palu arit ini, berasal dari daerah Indramayu.  Bahkan pada awal kemerdekaan, PKI sudah melakukan makar, dengan menyerang stasiun kereta api Kejaksan di kota Cirebon.  Tanggal peristiwanya adalah Februari 1946, hanya beberapa bulan setelah PKI didirikan sebagai tindak lanjut adanya Maklumat X (baca: eks) Pemerintah Republik.  Ini merupakan tindakan makar ideologis pertama terhadap pemerintah Republik.

Geger PKI tahun 1965 merembet ke mana-mana.  Wanakajir yang dilintasi lalu-lintas utama Jakarta-Cirebon, membuat kabar apapun yang berasal dari Jakarta akan sampai dengan mudah tercecer di Wanakajir.  Apalagi selain dilintasi lalu-lintas darat, Wanakajir juga tidak terlalu jauh dari Stasiun Kereta Api Kaliwedi.  Dengan tanpa harus memotong jalan, jarak dari Wanakajir ke Kaliwedi dapat ditempuh kurang dari satu jam jalan santai.

Meskipun geger PKI merembet ke mana-mana, di Wanakajir dan di Cirebon umumnya, geger ini tidak sedahsyat yang dilakukan DI/TII.  Pada masa-masa DI/TII, sejak proklamasi DI tahun 1949 hingga eksekusi Kartosuwiryo tahun 1962, penyembelihan orang kerap dilakukan oleh DI/TII, terutama terhadap para penghianat mereka.  Konon, seperti yang pernah diungkapkan oleh seorang anggota DI/TII, mereka tidak asal saja mengeksekusi.  Sebelum eksekusi dilakukan, telah ada ketetapan hukum yang diputuskan oleh pengadilan mereka.  Demikianlah pada masa-masa sepanjang 1950-an dan awal 1960-an, sungai Kaliwedi yang melintasi Bunder, Jatipura dan Jatianom kerap bersimbah darah karena adanya eksekusi oleh DI/TII ini.  Begitu juga dengan Kali Ciwaringin yang melintasi Tegalgubug, Karangsambung, dan terus ke arah Gegesik.  Pada sekitar geger PKI 1965, terjadi saling bunuh antara anggota PKI dan warga biasa, tetapi tidak sedahsyat waktu DI/TII.

Anehnya, dukuh Wanakajir selamat.  Tak ada korban DI.  Tak ada korban PKI.  Badiyah pun tidak ditangkap karena tuduhan terlibat PKI.  Sepanjang tahun 1950-an yang menjadi masa krisis bagi Jawa Barat, tidak dialami oleh dukuh Wanakajir.  Demikian juga sepanjang tahun 1960-an yang merupakan masa krisis bagi Jawa dan Bali, tidak menimpa dukuh itu.

(bersambung)***